Langsung ke konten utama

SOLUSI BEBAS MATI GAYA

 

Suasana Upacara Hari Pendidikan Nasional 2023 
(dok. pribadi) 


Bebas Mati Gaya 1:

Apa makna bebas bagimu?

Pertanyaan itu muncul di kepala saya saat duduk istirahat di dalam kantor, selesai mengikuti upacara Hari Pendidikan Nasional 2023. Sambil minum, pandangan saya lalu tertuju ke dua objek: rekan kerja saya yang duduk sambil menggulir layar laptop dihadapannya mencari referensi mengajar dan sebuah router internet yang berkedip-kedip hijau di dinding, dekat dengan posisi duduk rekan saya.  Kedua objek itu saya amati bergiliran. Keduanya sama-sama hidup, pikir saya. Meski hidup-mati satu objek bergantung pada daya listrik. Keduanya juga sama-sama bekerja dan bebas, pikir saya lagi. Rekan saya bekerja sesuai profesinya dan bebas berselancar di dunia maya atas bantuan si router. Begitu pun dengan si router, yang bekerja secara bebas membantu rekan saya dan siapa pun yang membutuhkannya. Terlebih, jangkauan internet Provider yang satu ini sudah meluas sampai ke pelosok negeri.

rekan guru setelah menggunakan internet IndiHome sekolah
 (dok. pribadi) 

Berbicara tentang pelosok, saya teringat pengalaman kerja saya yang berpindah-pindah sejak tahun 2018 dari kota, pelosok, ke kota lagi. Saat itu, untuk pertama kali saya ditugaskan di sebuah desa pedalaman di Kalimantan Utara, Nunukan. Saya menyambut bulan pertama dengan excited: dikelilingi perbukitan, suara perahu dan ketinting yang hilir-mudik di sungai besar sebagai satu-satunya jalur transportasi, wifi desa (lebih sering gangguan) dan listrik yang hanya menyala di malam hari, suara burung dan tupai yang melompat di dahan pohon durian setiap pukul enam pagi menjadi penanda waktu, dan kehidupan masyarakat yang masih tradisional: berburu di hutan, berladang, memasak dengan tungku, dan berbelanja sembako di perahu dagang dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masih jadi rutinitas warga yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia ini. Mungkin seperti ini kehidupan kakek-nenek saya di jaman dulu, ucap saya dalam hati. Begitu tenang dan alami. Sejenak saya bisa terlepas dari bisingnya ibukota. 

bermain peri hutan bersama anak-anak di desa penugasan
(dok. pribadi) 

Menggendong kayu, bahan bakar memasak
(dok. pribadi) 

Warga membeli ayam di perahu dagang dari Malaysia 
(dok. pribadi) 

mencuci di sungai ditemani anak-anak
(dok. pribadi) 

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa saya juga merasa kesulitan untuk memperoleh informasi dan bertukar kabar saat wifi desa mati. Di dua bulan selanjutnya, saya tak bisa menerima berita ter-update dari kantor pusat di Jakarta, susah berkomunikasi dengan rekan satu tim saya di desa-desa lain yang sudah terpapar sinyal dan listrik 24 jam, dan kesulitan mengerjakan tugas. Agar bisa berkomunikasi dengan rekan saya di desa lain, saya harus mengirim surat terbungkus plastik untuk dititipkan ke pemilik perahu yang kebetulan akan pergi ke desa penugasan teman saya. Barulah teman saya yang meneruskan isi pesan saya kepada anggota tim lain. Saya juga harus menunggu malam hari untuk mengisi daya laptop dan HP, serta kesulitan mencari beberapa referensi mengajar. Mau berusaha menjalani hidup seperti jaman dulu tapi berada di jaman maju ternyata terasa menjebak. Senang karena bisa hidup di lingkungan baru tapi seperti ada sesuatu yang hilang. Saya mulai gusar.

Syukurnya kegusaran saya hilang setelah pergi ke kecamatan terdekat ketika ikut berbelanja ke pasar. Ternyata Internet dan listrik di kecamatan terdekat aktif 24 jam. IndiHome pun sudah terpasang di rumah-rumah. Saya lega. Betapa bersyukurnya saya punya kesempatan berada di dua kecamatan dengan dua ritme yang berbeda: tradisional dan modern. Di kecamatan lain, saya tidak perlu gusar lagi jika mau bertukar kabar dan informasi dengan sesama tim atau memberi kabar kepada keluarga di Lombok. Bisa Video Call sepuasnya, update konten di media sosial, mencari referensi yang berhubungan dengan kebutuhan pekerjaan. Saya tidak merasa kehilangan sesuatu lagi. Sedangkan di desa penugasan yang lebih tradisional, kondisi terbatas tersebut membuat saya bisa mengimprovisasi diri dengan keadaan. Saya bisa lebih mengeksplorasi lingkungan, seperti membuat media pembelajaran kreatif dari barang bekas/kardus dan belajar dari alam. Aktivitas mengirim surat ke teman saya di desa lain juga telah menginspirasi saya untuk membentuk sahabat pena siswa Nunukan-Yapen. Caranya: siswa/i saya menulis surat di kertas untuk ditujukan ke siswa sekolah di Yapen lalu saya kumpulkan dan foto. Kemudian saat berada di kecamatan terdekat, saya bisa mengirim file itu lewat email ke teman saya yang bertugas di Yapen. Tak hanya itu, seorang siswa yang memanjat tiang bendera untuk memasukkan tali yang terlepas, telah menginspirasi saya membuat tulisan. Tulisan itu telah dibukukan dan dibaca banyak orang setelah saya mempromosikannya di media sosial. Semua aktivitas saya pun bisa bebas saya unggah di media sosial. Berkat Internet, saya bisa tetap aktif berkreativitas meski di kondisi terbatas.



Suasana belajar seni rupa di alam. Anak-anak membuat benda impiannya dari tanah liat. Ada yang membuat kamera dan telepon genggam. 
(dok. pribadi) 



Balon tiup sedotan gelembung (mainan jadul anak 90an) yang masih bisa saya mainkan bersama guru setempat. 
(dok. pribadi) 

Belajar bangun ruang dengan nomenklatur yang terbuat dari kardus saat anak-anak bosan belajar di kelas. Belajar di kolong rumah warga pun jadi. Ckckck
(dok. pribadi) 


Cerita "Penakluk Tiang Bendera" terinspirasi dari pertolongan seorang siswa
(dok. pribadi) 

Salah satu surat dari siswa yang ditujukan ke siswa Yapen dalam program Sahabat pena. 
(dok. pribadi) 

Foto bersama host fam. 
(dok. pribadi) 

Suasana upacara di lingkungan sekolah yang berjalan berkat siswa yang berani memanjat tiang. 
(dok. pribadi) 

Kondisi perbatasan Indonesia-Malaysia di perjalanan menuju Kabupaten Nunukan.
(dok.pribadi)

Suasana balik ke desa meninggalkan kecamatan terdekat.
(dok.pribadi)


Kebersamaan kami selama setahun membuat saya merasa memiliki dua keluarga baru, yaitu di desa penugasan dan di kecamatan terdekat. Perpisahan kami pun diiringi tangis. Walau bagaimana pun, saya harus pulang ke Lombok, tanah kelahiran saya. Namun, jarak tak membuat hubungan kami terputus. Para siswa bisa tetap menghubungi saya melalui WhatsApp Video call. Menyenangkan sekali! Kami bisa tetap terhubung berkat Internet dari IndiHome! 



Suasana perpisahan di desa penugasan. 
(dok. pribadi) 

Berbincang ria dengan siswa melalui Video Call.
  
Nunukan-Lombok jadi terasa dekat! 
(dok. pribadi) 


Bebas Mati Gaya 2:

Beberapa tahun kemudian saya mendapat penugasan mengajar lagi di Kalimantan Timur, Kutai Kartanegara. Jika di Kalimantan Utara saya mengajar tingkat SD, kali ini saya ditugaskan di sebuah SMP. Setiba di lokasi, saya diberitahu bahwa sinyal yang tersedia di wilayah penugasan hanya Telkomsel, dan saya tak perlu pusing dengan itu karena sejak SMA sudah memakai kartu AS dari Telkomsel. IndiHome pun sudah menjangkau wilayah kecamatan Anggana. Sayangnya, meski saya ditugaskan pasca pandemi (2021) saya mesti melakukan isolasi mandiri dan kegiatan belajar mengajar pun belum aktif: hanya 3 hari pertemuan selama seminggu. Lagi-lagi saya merasakan ritme kehidupan nano-nano karena kondisi di desa ini hampir sama dengan cerita sebelumnya: internet dari wifi desa dan listrik hanya menyala di malam hari. Jika malam belum tiba, saya mencari sinyal internet dengan memanjat di tandon air desa atau menempelkan handphone saya di jendela rumah.
Suasana mencari sinyal internet Telkomsel di tandon desa. 
(dok. pribadi) 

Namun semua tetap terasa mudah ketika saya bisa berjumpa IndiHome di kecamatan. Program yang saya rancang yang berfokus pada pengembangan anak, guru dan juga Kepala Sekolah pun bisa terlaksana: Anak-anak bisa tetap eksis membuat konten lomba yang diadakan secara daring, para guru dan kepala seolah bisa mengikuti pelatihan secara daring saat pemateri belum bisa hadir secara langsung dan yang paling utama dan terpenting: sekolah bisa mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) berkat adanya IndiHome di rumah Kepala Sekolah di Anggana. Masyarakat juga bisa dengan mudah mendapat kabar pengiriman kepiting dan udang tiger ke Samarinda dan Balikpapan. Tak hanya itu, saya juga bisa mudah mengakses Internet di sebuah taman yang terpasang wifi IndiHome sambil menikmati pemandangan jembatan Mahakam. 



Mengirim tugas di sebuah taman yang sudah terpasang wifi gratis dari IndiHome. (dok. pribadi)

Pelatihan online untuk guru dan kepala sekolah sekecamatan Anggana.
 (dok. pribadi) 

Sekolah mengikuti Festival Literasi Balikpapan secara daring. 
(dok. pribadi) 

siswa persiapan lomba berpuisi tingkat nasional secara daring. 
(dok. pribadi) 

siswa persiapan lomba dongeng tingkat nasional secara daring
(dok. pribadi) 

Sertifikat siswa yang mengikuti lomba berpuisi tingkat nasional
(dok. pribadi) 

perjalanan dari desa ke kecamatan untuk persiapan ANBK bersama siswa dan guru. (dok. pribadi) 


Partisipasi warga mengikuti World Clean Up Day Indonesia (WCDI) sekecamatan Anggana (dok. Instagram @wcdi_Anggana) 

Dua siswa perwakilan sekolah mengikuti Technical meeting olimpiade matematika tingkat nasional. (dok. pribadi) 

Belajar persiapan olimpiade bersama guru secara daring karena pandemi
(dok. pribadi) 

Penghargaan siswa mengikuti olimpiade Matematika. 
(dok. pribadi) 

Siswa mengikuti lomba menari tingkat nasional secara daring. 
(dok. pribadi) 



Persiapan pengambilan video lomba menari bersama siswa dan guru 
(dok. pribadi) 

Suasana perjalanan desa-kecamatan. 
(dok.pribadi)

Perjalanan yang saya lalui selama bekerja di pelosok Indonesia memberi satu pelajaran berarti bagi saya, yaitu: di situasi terbatas, terkadang usaha kita harus lebih keras. Meski berada di wilayah perbatasan, bukan berarti semangat anak-anak untuk meraih prestasi menjadi terbatas. Mereka (siswa) mampu bersaing secara daring dengan semangat dan usaha yang lebih besar dari semangat orang di perkotaan berkat dukungan Internet IndiHome yang sudah menjangkau pelosok negeri. Bayangkan jika tidak ada internet di masa pandemi dan tahun-tahun setelahnya, saya sebagai fasilitator pendidikan bisa mati gaya. Tak bebas beraktivitas. 


Bebas Mati Gaya 3:

Jika di pelosok saja saya masih bisa tetap bebas beraktivitas, apalagi di kota. Saya tetap bebas berseluncur di dunia maya selama masih dibersamai Internet Provider dari IndiHome. Menonton film, membaca berita, dan mengunggah konten-konten inspiratif berupa tulisan dan audio visual terasa mudah. Cuan pun bisa banyak berdatangan di jaman "yang apa-apa serba internet" ini. Berkat sering ngonten, seorang kawan menghubungi saya untuk membuat konten bersama. Kami menulis cerita anak lalu mengunggahnya ke kanal youtube Esensi dotco setelah cerita tersebut dialihwanakan ke bentuk audio-visual. Hasilnya, karya kami bisa menjadi referensi mengajar para guru di sekolah.  Sering kali saya juga dimintai mempromosikan produk. Sebuah foto yang saya unggah di Instagram juga menjadi foto terpilih 2 versi TelusuRI.


Konten-konten yang kita unggah tak hanya menjadi sumber informasi dan inspirasi, tapi bisa menjadi salah satu senjata personal branding. Tinggal tayangkan semua itu di platform-platform favoritmu.  Modalnya cuma satu: pakai internet dengan kecepatan kencang. Jika tidak, duh! Nggak bisa satsetsatset. Nggak nyaman banget kan? Di tahun 2021, saya juga bisa lancar mengikuti ELTA (English Language Training Assistance) yang dilaksanakan daring selama 3 bulan berkat jaringan Telkomsel yang stabil dan lancar. Saya juga berhasil menjadi salah satu shortlisted candidat program kepemudaan mitra Indonesia-New Zealand berkat kelancaran mengisi aplikasi  di website dan tentu saja, unggahan konten-konten bermanfaat di media sosial yang menjadi pertimbangan panitia.

Tak hanya berdampak baik untuk diri, mengonsumsi internet harus memberi dampak baik juga untuk sekitar. Ini adalah prinsip saya. Berkat terjun di dunia relawan, saya juga bisa membantu dua orang nenek mendapatkan bantuan dari luar negeri. Semua itu berkat seorang kawan yang mengirim foto mereka ke donatur. Dan, itu tak akan terjadi jika Internet tak menghubungkan kami. Melalui di media sosial pun, saya bisa dengan mudah mendapat peserta kelas menulis cerita anak dan membimbing mereka secara luring dan daring. Hal-hal menggembirakan banyak saya rasakan dunia tulis-menulis. Mengingat saya senang membagi kebahagian 'kelahiran karya' di media sosial, seorang Founder dari sebuah yayasan berbasis sosial meminta izin agar karya-karya buku cerita anak yang saya tulis bisa dialihwahanakan ke huruf braile. Tentu saja saya setuju karena karya saya jadi mudah dinikmati banyak orang. Bayangkan jika tak ada internet yang membersamai saya? Saya tidak bisa melakukan itu semua. Bisa mati gaya karena tak bisa berkonten ria! 


Kembali ke makna bebas

Bebas berkreasi untuk memberi dampak besar di sekitar serta mendapat insight bagi diri sendiri adalah makna bebas bagi saya. Saya bebas menjadi siswa dan bebas menjadi guru: bebas belajar dari pengalaman bekerja dengan dibersamai internet dari IndiHome, juga bebas mengajar hal-hal baik. Berkat IndiHome, saya juga bisa memerdekakan mimpi saya menjadi penulis melalui konten-konten yang saya unggah di beberapa platform (pekerjaan sampingan yang juga menghasilkan cuan).


Menikmati dunia dalam layar berkat IndiHome yang
terpasang di tempat makan (dok. pribadi) 



Salah satu cerita anak yang jadi juara 1 tingkat provinsi NTB
(dok. pribadi) 


Kelas menulis cerita anak bersama Djendela Pustaka
(dok. Instagram @djendela.pustaka) 



Solusi dibalik bebas mati gaya:

Omong-omong, dari tadi cerita saya ada kaitannya melulu dengan IndiHome. Kenapa IndiHome sih yang menemani? Bukan yang lain. Berikut penjelasan singkatnya. 

IndiHome merupakan salah satu produk layanan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk sebagai Internet Provider. Mudah, cepat dan stabil ditambah jangkauannya lebih luas. IndiHome sendiri adalah singkatan dari Indonesia Digital Home. Resmi diluncurkan pada tahun 2015. Sesuai dengan kata "Home" yang tersemat di namanya, produk digital ini memiliki 3 jenis layanan yaitu Internet rumah,  Telepon Rumah dan TV Interaktif (UseeTV) yang menggunakan teknologi fiber optik. Penghargaan tertinggi Top Brand Awards oleh Majalah Marketing dan Frontliner Consultan juga pernah diraih oleh Layanan Triple Play IndiHome (produk andalan) PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk untuk kategori Internet Service Provider Fixed Terbaik. Internet Provider ini juga semakin praktis digunakan karna bisa membayar tagihan dan beli add-on di aplikasi myIndiHome.

Kualitas Telkom Indonesia yang sudah menjangkau pelosok tak diragukan lagi. Pengalaman-pengalaman yang saya sampaikan di atas adalah bukti. Berkat Internet Provider ini, saya tak mati gaya: bebas beraktivitas dan berkreativitas tanpa batas. Tak perlu khawatir mau kerja dan unggah konten di mana pun. Bahagia banget kan bisa berkonten ria bersama IndiHome? Love bertubi-tubi untuk Internet Provider IndiHome!

(dok. pribadi) 
 

Komentar

  1. Masya Allah Tabarakallah saya pernah merasakan hal seperti itu di Kalimantan Selatan, listrik hanya malam hari, sinyal sering hilang transportasi pakai sungai. Alhamdulillah sekarang udah balik Jawa..

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah ya mbak. Kita diberi kesempatan menikmati momen seperti itu :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ELTA PAKET KOMPLIT !

  trainer dan trainee ELTA IX Propinsi NTB English Language Training Assistance (ELTA) merupakan program bantuan pelatihan bahasa Inggris dari Australia Awards in Indonesia (AAI)  bagi masyarakat Propinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NTB serta disabilitas di seluruh Indonesia. Program ini ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki kriteria sebagai pelamar beasiswa S2 Australia Awards Schoolarsip  (AAS) atau beasiswa lainnya,  tapi memiliki skor IELTS di bawah 5.0 . ELTA sudah terlaksana selama 9 kali dan uniknya, semesta memberi kejutan untuk peserta ELTA Batch IX. Anggap saja kami angkatan spesial. Pasalnya, kami menjadi peserta ELTA Online pertama karena kondisi pandemi. Tak hanya berdampak ke sistem pelatihan yang beralih ke daring, jadwal kegiatan yang seharusnya dimulai di tahun 2020 pun sempat tertunda, but finally! Setelah menunggu +  6 bulan, pelatihan berdurasi 3 bulan tersebut akhirnya dimulai di pertengahan  Januari sampai April 2021. Lalu seperti apa ta

Penggerak Pangan Lokal: Nur Rahmi Yanti

foto pribadi Siapa di antara kamu yang masih asing dengan nama sorgum? Jika kamu baru mengenal nama itu saat membaca tulisan ini, tak masalah. Lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali. Saya pribadi yang tinggal di kota juga baru mengenal sorgum di tahun 2019 saat berkunjung ke salah satu rumah guru di desa Bentek, Kabupaten Lombok Utara. Jika orang jawa mengenal sorgum dengan nama jagung cantel, warga Nusa Tenggara Barat akrab menyebutnya buleleng.  "Mau urap buleleng?" tawar seorang guru saat itu sambil menyodorkan piring berisi menu tadi. Saya mengernyitkan dahi mendengar satu nama asing di telinga saya: Buleleng. Melihat piring berisi biji-bijian berwarna merah dengan daging putihnya yang mekar direbus, bercampur dengan parutan kelapa dan toping gula merah di atasnya, saya menerima dan mencicipi urap manis itu. " Kalo bahasa Indonesianya Sorgum", tambah guru tadi. Tangan saya langsung membuka gawai dan mencari tahu apa itu sorgum di internet. Akhirny

Solusi Healing ketika Pening

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah seorang budayawan Lombok. Beliau sudah sepuh. Saat saya tanya kelahiran berapa, beliau menjawab bahwa  saat perang Pujut pertama di Lombok dan masa orde lama, usianya sudah belia. Singkatnya, beliau lahir tahun 1958. Tentu saja saya yang lahir di masa reformasi membuat perbedaan usia kami terbilang kontras. Kami lalu bercerita dan saling bertukar pandangan tentang lebih enak hidup di zaman dulu atau sekarang. Hingga sampai pada satu kesimpulan awal: semua zaman ada enak dan tidak enaknya.  Kata beliau, zamannya terasa menyenangkan saat bisa bersahabat dengan bulan. Bulan menjadi penunjuk jalan dan menjadi teman sepanjang perjalanannya saat listrik belum ada dan kendaraan masih langka. Namun di zaman beliau, Ia mengaku kesulitan dalam hal komunikasi dan perolehan informasi.  "Orang zaman dulu masih mengandalkan surat pos nak, berbeda dengan sekarang. Semua serba instan dan cepat. Secepat menjentikkan jari," pengakuannya kepada saya.