A child Called it adalah buku karya Dave Pelzer berisi
kisah nyata tentang pengalaman buruknya di masa kecil dulu. Tentang bagaimana
ia mengalami kekerasan dari si Ibu, yang membuat saya dan pasti semua pembaca
harus menghela napas panjang membuka setiap halamannya. Saya ingat, pertama
kali berkenalan dengan buku ini di waktu yang tidak tepat. Saat itu saya
menjadi fasilitator anak di Kinder Oase institute, salah satu yayasan milik
seorang Jerman. Situasinya tepat saat pandemi baru muncul. Lalu, saya
ditugaskan untuk tetap up to date tentang berita Covid-1
sebagai referensi keberlanjutan program kedepannya, dan sebagai bahan untuk
sama-sama mendiskusikan nasib anak-anak yang saat itu di asrama Wohn
Gemeinshaft. Walaupun pada akhirnya, demi kesehatan dan keselamatan
bersama, diputuskan untuk memulangkan mereka ke kampung halamannya di Jagaraga,
Kediri. Program pun lalu dialihkan ke project berbasis rumahan, seperti
lomba berkebun dan eco-brick dari rumah masing-masing, juga program edukatif
lainnya. Berkebun bersama keluarga. Hmm sungguh romantis !
Efek dari tugas saya membaca isu Covid-19 setiap
hari adalah timbulnya rasa cemas. Bagaimana tidak, pikiran saya dipenuhi berita
menyedihkan tentang : data berisi angka kematian akibat keganasan virus
tersebut, dampak pandemi terhadap dunia perekonomian seperti kaum menengah
mendadak di PHK, sekolah yang mendadak ditutup, semua orang harus mengisolasi
diri di rumah,“ngap-ngapan” melihat pakaian APD membungkus badan para pahlawan
medis yang berjuang merawat pasien hingga ikut gugur karna tertular, dan
peringkat Indonesia di dunia dalam kasus penyebaran Covid-19.
Di tengah tugas saya membuat semacam kliping untuk
merangkum isu pandemi dan dampaknya di dunia pendidikan baik skala
nasional maupun internasional, tak diragukan lagi, kecemasan saya
bertambah saat membaca buku si Dave di selang waktu istirahat. Memang benar
komentar orang-orang yang pernah membaca buku kisah nyata tersebut, membuka
buku itu berarti harus siap merasakan sensasi tertekan, sedih, dan sakit hati
melihat ulah sang ibu kandung terhadap anaknya. Inge, bos saya saat itu pernah
memberi tahu bahwa buku tersebut berseri, dan penulis mengakui efek kekerasan
yang dialaminya belum sembuh meski si Dave sudah berkeluarga. Artinya, korban
kekerasan, meski sudah disembuhkan, naluri untuk berbuat hal yang sama kepada
keturunannya akan tetap ada, karena kondisi psikisnya sudah tidak biasa-biasa
saja. Sederhananya, anak yang dipukul, dijejalkan kepalanya di dalam air,
dipaksa makan makanan basi, dan bentuk kekerasan tak manusiawi lain yang
dialami, tak hanya memberi trauma terhadap anak tapi juga meninggalkan siklus
baru untuk menjadi pelaku bagi orang lain (entah kepada pasangannya atau
anak-anaknya nanti. Bayangkan jika siklus negatif tersebut merembet
hingga keturunan-keturunan selanjutnya, maka siapa yang menjadi sumber
penyebabnya? Kalian bisa simpulkan sendiri.
Berbicara tentang buku yang pernah dinobatkan
sebagai The New York Bestseller di tahunnya itu,
bagaimana pun, saya bersyukur bisa membaca dan mengenal Dave
kecil. Di usia 4 tahun Dave mampu bertahan seorang diri dengan
perilaku kejam ibu kandungnya. Saya jadi geram sekaligus bertanya-tanya, apa
yang menjadi motivasi si Ibu sampai menjadi pelaku penyiksa anak terparah
ketiga di California. Apa yang dipikirannya ketika si Ibu memukul, membakar,
menusuk, mengunci anaknya di kamar mandi dengan cairan amoniak, meminta Dave
makan muntahannya sendiri dan berbagai kekejaman lainnya. Semoga jawaban itu
saya temukan di buku seri selanjutnya, meski saya takut buku seri kedua dan
ketiga lebih mengaduk emosi saya. Buku ini tak hanya bisa jadi penegur kalian
yang sudah berkeluarga, tapi bisa jadi perenungan bagi mereka yang masih lajang
supaya tak salah langkah. (Keterangan tambahan tentang buku : diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama tahun 2003).
Kekerasan yang sama saya lihat beberapa jam lalu di
Instagram, tapi pelakunya bukan orang tua kepada anak, tapi seorang pemuda
remaja kepada pacarnya, perempuan. Saya pribadi mbatin melihat
cara berpacaran anak jaman sekarang yang sudah kelewat batas.
Jika di Jaman saya, yang membuat para orang tua khawatir adalah sikap para
sejoli yang berani menampakkan kemesraan berpelukan di atas motor, karena di
jaman mereka dulu, untuk sekedar bertemu pacar harus di rumah si perempuan,
duduk di ruang tamu dengan pengawasan orang tua. Pasti rasanya tegang-tegang
menyenangkan. Kelonggaran aturan pacaran di jaman saya (yang sudah bisa ngajak pacar
jalan bareng) ya penyimpangannya seperti itu tadi : berani peluk-pelukan pamer kemesraan
di tempat umum. Lain ceritanya dengan sekarang, tingkat keberaniannya
sudah naik level menjadi berani main tangan ! Hanya dengan status “berpacaran”,
mereka (umumnya para lelaki) sudah menganggap diri berhak memukul. Konsep
berpacaran semacam ini sangat rentan terjadi di kalangan remaja.
Siklus pacaran yang tak sehat mirip seperti
pernikahan, dimana mereka (baca laki-laki lagi) merasa
berhak bertindak apa saja termasuk main fisik ke pacar pasangannya
karena adanya rasa kepemilikan. Akhirnya, si perempuan atas dasar cinta mau tak
mau patuh, layaknya seorang istri terhadap suami.
Cara berpacaran tak sehat semacam itu kita jumpai
di masa sekarang, baik secara langsung ataupun tidak. Sedikit bercerita, karena
rumah saya tepat berhadapan langsung dengan jalan besar rute Ampenan-Senggigi,
pernah suatu malam saat saya sedang mengunci gerbang, 2 sejoli parkir di bawah
pohon dekat bibir jalan. Sekitar 5 meter dari gerbang rumah. Dari cara
berpakaian si perempuan : pakai sendal slop, bercelana jeans, baju sepanjang
lutut dengan helm bertengger di kepala dan tas mini melingkari pinggangnya,
sudah kelihatan dia gadis belia yang sopan. Lain dengan si lelaki yang pakai
sendal jepit, baju kaos oblong, celana pendek dan tidak memakai helm sehingga
wajah pas-pasannya terlihat jelas. Saya bisa pastikan bahwa pemilik motor
adalah si perempuan karena yang mengenakan helm adalah yang dibonceng. Tipikal
berpacaran dimana kalau jalan si wanita yang menjemput
pacarnya. Dengan posisi berdiri di depan gerbang, saya melihat si
perempuan turun dari motor menangis dan si lelaki teriak membentak lalu memukul
kepala pacarnya. Badan si perempuan otomatis terhuyung karna beban helm di
kepalanya. Entah apa masalahnya, tapi saya yang memegang gembok gerbang jadi
geram. Belum sempat saya berteriak minta mereka pergi, si lelaki menarik paksa
tangan si perempuan untuk naik ke atas motor, sambil tetap membentak minta
pacarnya diam.
Adegan wanita menangis karna ulah pacarnya juga
banyak bertebaran di berita atau sosial media. Mulai dari video nyeleneh
seperti gadis remaja yang terekam sedang menangis sambil menyebut nama pacarnya
di pinggir jalan karna diturunkan dari atas motor, sampai video ironi yang
memperlihatkan korban kekerasan fisik. Saya tak habis pikir!
Video korban kekerasan berdurasi pendek itu secara
tak sengaja saya tonton dari link yang dibagi seorang teman. Sebagai penonton,
saya merasa sakit hati karena korban tak hanya disiksa, tapi leher si
perempuan juga dirantai diperlakukan seperti binatang. Ia mengaduh dan menangis
saat bapaknya membuka gembok di lehernya. Si bapak pun, dengan perasaan yang
pasti lebih hancur, juga menangis melihat kondisi anaknya yang hanya bisa duduk
di atas korsi roda dengan kepala berdarah bekas dipukuli obeng, wajah dan badan
lebam, dan kaki seperti kena luka bakar atau air panas. Mengenaskan. Pasti akan
menimbulkan trauma bagi gadis remaja tersebut.
Terlepas dari memikirkan trauma mendalam yang pasti
dirasakan si korban (perempuan), seketika pikiran saya dipenuhi pertanyaan :
Apa motivasi si pelaku menyiksa pacarnya? Mengapa gadis itu mau memacari lelaki
psikopat seperti itu? Bagaimana cara orang tuanya mendidiknya dulu ? Apakah si
pelaku juga sama-sama pernah jadi korban seperti si Dave di buku tadi, tapi
mungkin tak mendapat penanganan seberuntung Dave yang berhasil lepas dari
ibunya di umur 12 tahun, atau bernasib sama-sama keturunan kesekian dari si
Dave? Setan apa yang merasuki si pelaku untuk menyiksa pacarnya sendiri ?
(maafkan saya setan, kamu selalu ikut ambil bagian untuk disalahkan di
setiap perbuatan buruk manusia). Tapi apapun itu, pasti ada faktor yang
mempengaruhi psikologi pelaku sehingga berani melakukan perilaku
menyimpang tersebut. Entah pengaruh dari hubungan keluarga, pertemanan atau
kondisi lingkungannya.
Jika perbuatan buruk itu ditularkan dari orang
tuanya, kesimpulan saya terhadap orang tua yang buruk kelakuannya semakin kuat,
bahwa mereka sama seperti Virus Covid-19: Sama-sama mematikan. Bedanya, yang
satu mematikan jasad, yang satunya lagi mematikan kualitas hidup positif
manusia.
Saya lalu berandai-andai. Andai saya berkawan
dengan Doraemon. Seperti usaha Nobita yang mengabulkan keinginan neneknya untuk
melihat cucunya menikah di masa depan, saya akan minta hal yang sama : naik
mesin waktu mengintip masa depan. Saya ingin melihat apakah anak-anak saya,
cucu-cucu saya atau cicit-cicit saya mewarisi sifat baik atau buruk dari saya.
Jika mewarisi sifat baik saya bersyukur, tapi bagaimana jika yang saya wariskan
sifat buruk? Tentu, dengan bantuan mesin waktu tadi, saya bisa
mengantisipasinya.
Selanjutnya saya membayangkan, jika para orang tua yang biasa membentak, memukul atau menganiaya pasangan dan anak-anaknya punya kesempatan untuk melihat kehidupan anaknya di masa depan, apakah mereka juga akan sadar bahwa mereka atau setiap diri kita punya andil besar sebagai penyumbang sifat buruk atau baik bagi anak atau keturunan anaknya? Jika mereka tahu bahwa tindakan negatif sama seperti tindakan positif yang bersifat menular, apakah mungkin saat mereka melakukan tindakan negatif, para orang tua yang cepat merasa kesal dengan tingkah polah anaknya, akan dengan mudah melayangkan tangan ke kepala anak, meninggikan suara membentak-memaki sang anak?
Dear para orang tua, tentu kita tidak mungkin
menjadi Nobita yang berkawan dengan Doraemon. Itu hanya cerita kartun. Tapi
kita akan sangat mungkin menjadi pemeran dalam buku A Child Called It
atau menjadi penyumbang virus yang melumpuhkan psikis anak. Dan tentu,
kita tidak punya kesempatan untuk menghapusnya setelah itu terjadi. Kuncinya
hanya dua : hindari atau hentikan. Jika kita pernah menyakiti hati anak,
hentikan, jangan diulangi lagi dengan memberi rekam pengalaman buruk kepada
anak. Jika kita sedang di kondisi tersebut, sedang marah karna kelakuan
anak-anak hindari berhadapan langsung dengan anak, yang membuat amarah kita
semakin menjadi-jadi.
Alasannya? Seperti yang saya katakan di paragraf
awal : korban kekerasan, meski sudah disembuhkan, naluri untuk berbuat
hal yang sama kepada keturunannya akan tetap ada, karna kondisi psikisnya sudah
tidak biasa-biasa saja. Sederhananya, anak yang dipukul, dijejalkan kepalanya
di dalam air, dipaksa makan makanan basi, dan bentuk kekerasan tak manusiawi
lain yang dialami, tak hanya memberi trauma terhadap anak tapi juga
meninggalkan siklus baru untuk menjadi pelaku bagi orang lain (entah
kepada pasangannya atau anak-anaknya nanti. Bayangkan jika siklus negatif
tersebut merembet hingga keturunan-keturunan selanjutnya, maka siapa yang
menjadi sumber penyebabnya? Kalian bisa simpulkan sendiri.
Ada banyak cara kok untuk bisa
berwelas asih kepada anak. Jika kalian dalam kondisi sangat marah, tak bisa
mengontrol emosi di depan anak, hindari kontak langsung dengan mereka. Beri
jeda pada diri dengan menjauhi anak beberapa menit (mungkin dengan
mengunci diri kalian di kamar untuk tarik nafas berulang-ulang sampai tenang)
atau lakukan apapun yang bisa meredam emosi kalian tanpa harus menyakiti diri
dan anak atau pasangan.
Contoh yang baik akan melahirkan hal yang baik,
begitu pun sebaliknya. Semoga setiap orang tua diberi sabar yang besar dan
ketangguhan hati dalam mendidik, dan semoga setiap anak cepat pula lunak
hatinya saat disikapi dengan welas kasih. Ingat, anak adalah peniru
paling ulung. Peniru orang tuanya.
Terakhir, untuk kamu, iya kamu yang berstatus sebagai anak. Kamu juga mampu memilih. Jika kamu terlahir dari sosok yang pernah memberi rekam buruk dalam hidupmu. Kamu punya hak untuk memutus mata rantai tesebut. Lakukan hal yang menurutmu bisa mengubah gaya mendidik orang tuamu. Pemabuk tidak akan bisa disadarkan dengan pemabuk. Kamu hanya bisa jadi penolong mereka saat mereka sedang khilaf-khilafnya bersikap buruk terhadapmu, dengan tidak menjadi pembuat masalah juga. Saya pun tidak terlahir dari keluarga yang baik-baik saja, tapi saya punya hak untuk menjadi lebih baik. Selamat berproses. Selamat berusaha “menjadi”.
Tulisan yang bagus untuk jadi refleksi diri bagi orang tua maupun orang dewasa yang selalu menjadi tempat anak-anak belajar hal baru agar lebih paham dampak sikap yang hendak dan akan dilakukan pada anak saat dia dewasa nanti. Tidak ada orangtua yang sempurna, tapi kita bisa menjadi orangtua yang baik dengan berusaha memberikan contoh yang baik. Semangat nulisnya kak :*
BalasHapus