Langsung ke konten utama

A child Called It dan Fenomena Kekerasan abad 21





A child Called it adalah buku karya Dave Pelzer berisi kisah nyata tentang pengalaman buruknya di masa kecil dulu. Tentang bagaimana ia mengalami kekerasan dari si Ibu, yang membuat saya dan pasti semua pembaca harus menghela napas panjang membuka setiap halamannya. Saya ingat, pertama kali berkenalan dengan buku ini di waktu yang tidak tepat. Saat itu saya menjadi fasilitator anak di Kinder Oase institute, salah satu yayasan milik seorang Jerman. Situasinya tepat saat pandemi baru muncul. Lalu, saya ditugaskan untuk tetap up to date tentang berita Covid-1 sebagai referensi keberlanjutan program kedepannya, dan sebagai bahan untuk sama-sama mendiskusikan nasib anak-anak yang saat itu di asrama Wohn Gemeinshaft. Walaupun pada akhirnya, demi kesehatan dan keselamatan bersama, diputuskan untuk memulangkan mereka ke kampung halamannya di Jagaraga, Kediri. Program pun lalu dialihkan ke project berbasis rumahan, seperti lomba berkebun dan eco-brick dari rumah masing-masing, juga program edukatif lainnya. Berkebun bersama keluarga. Hmm sungguh romantis !

 

Efek dari tugas saya membaca isu Covid-19 setiap hari adalah timbulnya rasa cemas. Bagaimana tidak, pikiran saya dipenuhi berita menyedihkan tentang :  data berisi angka kematian akibat keganasan virus tersebut, dampak pandemi terhadap dunia perekonomian seperti kaum menengah mendadak di PHK, sekolah yang mendadak ditutup, semua orang harus mengisolasi diri di rumah,“ngap-ngapan” melihat pakaian APD membungkus badan para pahlawan medis yang berjuang merawat pasien hingga ikut gugur karna tertular, dan peringkat Indonesia di dunia dalam kasus penyebaran Covid-19.

 

Di tengah tugas saya membuat semacam kliping untuk merangkum isu pandemi dan dampaknya di dunia pendidikan baik skala  nasional maupun internasional, tak diragukan lagi, kecemasan saya bertambah saat membaca buku si Dave di selang waktu istirahat. Memang benar komentar orang-orang yang pernah membaca buku kisah nyata tersebut, membuka buku itu berarti harus siap merasakan sensasi tertekan, sedih, dan sakit hati melihat ulah sang ibu kandung terhadap anaknya. Inge, bos saya saat itu pernah memberi tahu bahwa buku tersebut berseri, dan penulis mengakui efek kekerasan yang dialaminya belum sembuh meski si Dave sudah berkeluarga. Artinya, korban kekerasan, meski sudah disembuhkan, naluri untuk berbuat hal yang sama kepada keturunannya akan tetap ada, karena kondisi psikisnya sudah tidak biasa-biasa saja. Sederhananya, anak yang dipukul, dijejalkan kepalanya di dalam air, dipaksa makan makanan basi, dan bentuk kekerasan tak manusiawi lain yang dialami, tak hanya memberi trauma terhadap anak tapi juga meninggalkan siklus baru  untuk menjadi pelaku bagi orang lain (entah kepada pasangannya atau anak-anaknya nanti. Bayangkan jika siklus negatif  tersebut merembet hingga keturunan-keturunan selanjutnya, maka siapa yang menjadi sumber penyebabnya? Kalian bisa simpulkan sendiri. 

 

Berbicara tentang buku yang pernah dinobatkan sebagai The New York Bestseller di tahunnya itu,  bagaimana pun, saya bersyukur bisa membaca dan mengenal Dave kecil.  Di usia 4 tahun Dave mampu bertahan seorang diri dengan perilaku kejam ibu kandungnya. Saya jadi geram sekaligus bertanya-tanya, apa yang menjadi motivasi si Ibu sampai menjadi pelaku penyiksa anak terparah ketiga di California. Apa yang dipikirannya ketika si Ibu memukul, membakar, menusuk, mengunci anaknya di kamar mandi dengan cairan amoniak, meminta Dave makan muntahannya sendiri dan berbagai kekejaman lainnya. Semoga jawaban itu saya temukan di buku seri selanjutnya, meski saya takut buku seri kedua dan ketiga lebih mengaduk emosi saya. Buku ini tak hanya bisa jadi penegur kalian yang sudah berkeluarga, tapi bisa jadi perenungan bagi mereka yang masih lajang supaya tak salah langkah. (Keterangan tambahan tentang buku : diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2003).

 

Kekerasan yang sama saya lihat beberapa jam lalu di Instagram, tapi pelakunya bukan orang tua kepada anak, tapi seorang pemuda remaja kepada pacarnya, perempuan. Saya pribadi mbatin melihat cara berpacaran anak jaman sekarang yang sudah kelewat batas. Jika di Jaman saya, yang membuat para orang tua khawatir adalah sikap para sejoli yang berani menampakkan kemesraan berpelukan di atas motor, karena di jaman mereka dulu, untuk sekedar bertemu pacar harus di rumah si perempuan, duduk di ruang tamu dengan pengawasan orang tua. Pasti rasanya tegang-tegang menyenangkan. Kelonggaran aturan pacaran di jaman saya (yang sudah bisa ngajak pacar jalan bareng) ya penyimpangannya seperti itu tadi : berani peluk-pelukan pamer kemesraan di tempat umum. Lain ceritanya dengan sekarang, tingkat keberaniannya sudah naik level menjadi berani main tangan ! Hanya dengan status “berpacaran”, mereka (umumnya para lelaki) sudah menganggap diri berhak memukul. Konsep berpacaran semacam ini sangat rentan terjadi di kalangan remaja.

 

Siklus pacaran yang tak sehat mirip seperti pernikahan, dimana mereka (baca laki-laki lagi) merasa  berhak bertindak apa saja termasuk main fisik ke pacar pasangannya karena adanya rasa kepemilikan. Akhirnya, si perempuan atas dasar cinta mau tak mau patuh, layaknya seorang istri terhadap suami.

 

Cara berpacaran tak sehat semacam itu kita jumpai di masa sekarang, baik secara langsung ataupun tidak. Sedikit bercerita, karena rumah saya tepat berhadapan langsung dengan jalan besar rute Ampenan-Senggigi, pernah suatu malam saat saya sedang mengunci gerbang, 2 sejoli parkir di bawah pohon dekat bibir jalan. Sekitar 5 meter dari gerbang rumah. Dari cara berpakaian si perempuan : pakai sendal slop, bercelana jeans, baju sepanjang lutut dengan helm bertengger di kepala dan tas mini melingkari pinggangnya, sudah kelihatan dia gadis belia yang sopan. Lain dengan si lelaki yang pakai sendal jepit, baju kaos oblong, celana pendek dan tidak memakai helm sehingga wajah pas-pasannya terlihat jelas. Saya bisa pastikan bahwa pemilik motor adalah si perempuan karena yang mengenakan helm adalah yang dibonceng. Tipikal berpacaran dimana kalau jalan  si wanita yang menjemput pacarnya.  Dengan posisi berdiri di depan gerbang, saya melihat si perempuan turun dari motor menangis dan si lelaki teriak membentak lalu memukul kepala pacarnya. Badan si perempuan otomatis terhuyung karna beban helm di kepalanya. Entah apa masalahnya, tapi saya yang memegang gembok gerbang jadi geram. Belum sempat saya berteriak minta mereka pergi, si lelaki menarik paksa tangan si perempuan untuk naik ke atas motor, sambil tetap membentak minta pacarnya diam.

 

Adegan wanita menangis karna ulah pacarnya juga banyak bertebaran di berita atau sosial media. Mulai dari video nyeleneh seperti gadis remaja yang terekam sedang menangis sambil menyebut nama pacarnya di pinggir jalan karna diturunkan dari atas motor, sampai video ironi yang memperlihatkan korban kekerasan fisik. Saya tak habis pikir!

 

Video korban kekerasan berdurasi pendek itu secara tak sengaja saya tonton dari link yang dibagi seorang teman. Sebagai penonton, saya merasa sakit hati karena korban tak hanya disiksa, tapi leher  si perempuan juga dirantai diperlakukan seperti binatang. Ia mengaduh dan menangis saat bapaknya membuka gembok di lehernya. Si bapak pun, dengan perasaan yang pasti lebih hancur, juga menangis melihat kondisi anaknya yang hanya bisa duduk di atas korsi roda dengan kepala berdarah bekas dipukuli obeng, wajah dan badan lebam, dan kaki seperti kena luka bakar atau air panas. Mengenaskan. Pasti akan menimbulkan trauma bagi gadis remaja tersebut.

 

Terlepas dari memikirkan trauma mendalam yang pasti dirasakan si korban (perempuan), seketika pikiran saya dipenuhi pertanyaan : Apa motivasi si pelaku menyiksa pacarnya? Mengapa gadis itu mau memacari lelaki psikopat seperti itu? Bagaimana cara orang tuanya mendidiknya dulu ? Apakah si pelaku juga sama-sama pernah jadi korban seperti si Dave di buku tadi, tapi mungkin tak mendapat penanganan seberuntung Dave yang berhasil lepas dari ibunya di umur 12 tahun, atau bernasib sama-sama keturunan kesekian dari si Dave? Setan apa yang merasuki si pelaku untuk menyiksa pacarnya sendiri ? (maafkan saya setan, kamu selalu ikut ambil bagian untuk disalahkan  di setiap perbuatan buruk manusia). Tapi apapun itu, pasti ada faktor yang mempengaruhi psikologi pelaku  sehingga berani melakukan perilaku menyimpang tersebut. Entah pengaruh dari hubungan keluarga, pertemanan atau kondisi lingkungannya.

 

Jika perbuatan buruk itu ditularkan dari orang tuanya, kesimpulan saya terhadap orang tua yang buruk kelakuannya semakin kuat, bahwa mereka sama seperti Virus Covid-19: Sama-sama mematikan. Bedanya, yang satu mematikan jasad, yang satunya lagi mematikan kualitas hidup positif manusia.

 

Saya lalu berandai-andai. Andai saya berkawan dengan Doraemon. Seperti usaha Nobita yang mengabulkan keinginan neneknya untuk melihat cucunya menikah di masa depan, saya akan minta hal yang sama : naik mesin waktu mengintip masa depan. Saya ingin melihat apakah anak-anak saya, cucu-cucu saya atau cicit-cicit saya mewarisi sifat baik atau buruk dari saya. Jika mewarisi sifat baik saya bersyukur, tapi bagaimana jika yang saya wariskan sifat buruk? Tentu, dengan bantuan mesin waktu tadi, saya bisa mengantisipasinya.

 

Selanjutnya saya membayangkan, jika para orang tua yang biasa membentak, memukul atau menganiaya pasangan dan anak-anaknya punya kesempatan untuk melihat kehidupan anaknya di masa depan, apakah mereka juga akan sadar bahwa mereka atau setiap diri kita punya andil besar sebagai penyumbang sifat buruk atau baik bagi anak atau keturunan anaknya? Jika mereka tahu bahwa tindakan negatif sama seperti tindakan positif yang bersifat menular, apakah mungkin saat mereka melakukan tindakan negatif, para orang tua yang cepat merasa kesal dengan tingkah polah anaknya, akan dengan mudah melayangkan tangan ke kepala anak, meninggikan suara membentak-memaki sang anak?

  

Dear para orang tua, tentu kita tidak mungkin menjadi Nobita yang berkawan dengan Doraemon. Itu hanya cerita kartun. Tapi kita akan sangat mungkin menjadi pemeran dalam buku A Child Called It  atau menjadi penyumbang virus yang melumpuhkan psikis anak. Dan tentu, kita tidak punya kesempatan untuk menghapusnya setelah itu terjadi. Kuncinya hanya dua : hindari atau hentikan. Jika kita pernah menyakiti hati anak, hentikan, jangan diulangi lagi dengan memberi rekam pengalaman buruk kepada anak. Jika kita sedang di kondisi  tersebut, sedang marah karna kelakuan anak-anak hindari berhadapan langsung dengan anak, yang membuat amarah kita semakin menjadi-jadi.

 

Alasannya? Seperti yang saya katakan di paragraf awal : korban kekerasan, meski sudah disembuhkan, naluri untuk berbuat hal yang sama kepada keturunannya akan tetap ada, karna kondisi psikisnya sudah tidak biasa-biasa saja. Sederhananya, anak yang dipukul, dijejalkan kepalanya di dalam air, dipaksa makan makanan basi, dan bentuk kekerasan tak manusiawi lain yang dialami, tak hanya memberi trauma terhadap anak tapi juga meninggalkan siklus baru  untuk menjadi pelaku bagi orang lain (entah kepada pasangannya atau anak-anaknya nanti. Bayangkan jika siklus negatif  tersebut merembet hingga keturunan-keturunan selanjutnya, maka siapa yang menjadi sumber penyebabnya? Kalian bisa simpulkan sendiri.

 

Ada banyak cara kok untuk bisa berwelas asih kepada anak. Jika kalian dalam kondisi sangat marah, tak bisa mengontrol emosi di depan anak, hindari kontak langsung dengan mereka. Beri jeda pada diri dengan menjauhi anak beberapa menit  (mungkin dengan mengunci diri kalian di kamar untuk tarik nafas berulang-ulang sampai tenang) atau lakukan apapun yang bisa meredam emosi kalian tanpa harus menyakiti diri dan anak atau pasangan.

 

Contoh yang baik akan melahirkan hal yang baik, begitu pun sebaliknya. Semoga setiap orang tua diberi sabar yang besar dan ketangguhan hati dalam mendidik, dan semoga setiap anak cepat pula lunak hatinya saat disikapi dengan welas kasih. Ingat, anak adalah peniru paling ulung. Peniru orang tuanya.

 

Terakhir, untuk kamu, iya kamu yang berstatus sebagai anak. Kamu juga mampu memilih. Jika kamu terlahir dari sosok yang pernah memberi rekam buruk dalam hidupmu. Kamu punya hak untuk memutus mata rantai tesebut. Lakukan hal yang menurutmu bisa mengubah gaya mendidik orang tuamu. Pemabuk tidak akan bisa disadarkan dengan pemabuk. Kamu hanya bisa jadi penolong mereka saat mereka sedang khilaf-khilafnya bersikap buruk terhadapmu, dengan tidak menjadi pembuat masalah juga. Saya pun tidak terlahir dari keluarga yang baik-baik saja, tapi saya punya hak untuk menjadi lebih baik. Selamat berproses. Selamat berusaha “menjadi”.

Komentar

  1. Tulisan yang bagus untuk jadi refleksi diri bagi orang tua maupun orang dewasa yang selalu menjadi tempat anak-anak belajar hal baru agar lebih paham dampak sikap yang hendak dan akan dilakukan pada anak saat dia dewasa nanti. Tidak ada orangtua yang sempurna, tapi kita bisa menjadi orangtua yang baik dengan berusaha memberikan contoh yang baik. Semangat nulisnya kak :*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ELTA PAKET KOMPLIT !

  trainer dan trainee ELTA IX Propinsi NTB English Language Training Assistance (ELTA) merupakan program bantuan pelatihan bahasa Inggris dari Australia Awards in Indonesia (AAI)  bagi masyarakat Propinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NTB serta disabilitas di seluruh Indonesia. Program ini ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki kriteria sebagai pelamar beasiswa S2 Australia Awards Schoolarsip  (AAS) atau beasiswa lainnya,  tapi memiliki skor IELTS di bawah 5.0 . ELTA sudah terlaksana selama 9 kali dan uniknya, semesta memberi kejutan untuk peserta ELTA Batch IX. Anggap saja kami angkatan spesial. Pasalnya, kami menjadi peserta ELTA Online pertama karena kondisi pandemi. Tak hanya berdampak ke sistem pelatihan yang beralih ke daring, jadwal kegiatan yang seharusnya dimulai di tahun 2020 pun sempat tertunda, but finally! Setelah menunggu +  6 bulan, pelatihan berdurasi 3 bulan tersebut akhirnya dimulai di pertengahan  Januari sampai April 2021. Lalu seperti apa ta

Penggerak Pangan Lokal: Nur Rahmi Yanti

foto pribadi Siapa di antara kamu yang masih asing dengan nama sorgum? Jika kamu baru mengenal nama itu saat membaca tulisan ini, tak masalah. Lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali. Saya pribadi yang tinggal di kota juga baru mengenal sorgum di tahun 2019 saat berkunjung ke salah satu rumah guru di desa Bentek, Kabupaten Lombok Utara. Jika orang jawa mengenal sorgum dengan nama jagung cantel, warga Nusa Tenggara Barat akrab menyebutnya buleleng.  "Mau urap buleleng?" tawar seorang guru saat itu sambil menyodorkan piring berisi menu tadi. Saya mengernyitkan dahi mendengar satu nama asing di telinga saya: Buleleng. Melihat piring berisi biji-bijian berwarna merah dengan daging putihnya yang mekar direbus, bercampur dengan parutan kelapa dan toping gula merah di atasnya, saya menerima dan mencicipi urap manis itu. " Kalo bahasa Indonesianya Sorgum", tambah guru tadi. Tangan saya langsung membuka gawai dan mencari tahu apa itu sorgum di internet. Akhirny

Solusi Healing ketika Pening

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah seorang budayawan Lombok. Beliau sudah sepuh. Saat saya tanya kelahiran berapa, beliau menjawab bahwa  saat perang Pujut pertama di Lombok dan masa orde lama, usianya sudah belia. Singkatnya, beliau lahir tahun 1958. Tentu saja saya yang lahir di masa reformasi membuat perbedaan usia kami terbilang kontras. Kami lalu bercerita dan saling bertukar pandangan tentang lebih enak hidup di zaman dulu atau sekarang. Hingga sampai pada satu kesimpulan awal: semua zaman ada enak dan tidak enaknya.  Kata beliau, zamannya terasa menyenangkan saat bisa bersahabat dengan bulan. Bulan menjadi penunjuk jalan dan menjadi teman sepanjang perjalanannya saat listrik belum ada dan kendaraan masih langka. Namun di zaman beliau, Ia mengaku kesulitan dalam hal komunikasi dan perolehan informasi.  "Orang zaman dulu masih mengandalkan surat pos nak, berbeda dengan sekarang. Semua serba instan dan cepat. Secepat menjentikkan jari," pengakuannya kepada saya.