Langsung ke konten utama

Kabur ke Makam Katolik

Saat menjadi Pengajar Muda di Nunukan Kalimantan Utara, lokasi desa penugasanku adalah yang terjauh di antara kami berdelapan. Uniknya lagi, aku berada di desa yang penduduknya beragama Kristen, berbanding terbalik dengan lingkunganku sebelumnya. Menarik! Akhirnya, selama setahun aku bisa know how feels minority.

Desa penugasanku bernama Binter, kecamatan Lumbis Ogong. Sebenarnya Binter adalah nama kelompok desa, karena di dalamnya terdapat 5 desa : Sungoi, Samunti, Salan, Sinampila dan Samata. Oleh karena itu terdapat 5 kepala Desa juga. Tapi berdasarkan hak wilayah, pemilik tanah ini adalah desa Samunti. Maka suatu hari nanti, keempat desa lainnya harus pindah dengan membangun pemukiman di bukit lain yang sudah disediakan, atau dengan istilah lain terjadi pemekaran desa.

Lalu di mana aku tinggal? Seperti apa penduduk di desa itu? Tenang. Ku jelaskan satu persatu.

Aku tinggal di rumah pak Kepala Desa Sungoi, bapak Salamatan namanya. Umumnya rumah di desa Binter berpanggung dan berdiri kokoh dengan kayu ulin. Di rumah itu, Aku diberi satu ruangan sebagai kamar yang merupakan milik Juria, adik angkatku. Saat itu Juria berstatus siswa SMA dan tinggal di asrama yang terletak di kecamatan lain karena di kecamatan kami belum ada SMA. Penduduk di desa ini bisa terbilang bersikap “terang-terangan”. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang aku temui, yang berusaha bersikap manis meski saat hatinya kesal sekali pun. Penduduk suku Dayak Agabag, khususnya yang ada di desaku akan memperlihatkan ekspresi yang sesuai dengan perasaannya. Jika ia senang kepada orang lain, ia akan ramah, semisal memberi buah atau sayur hasil panennya di hutan, memberi tumpangan perahu, dll. Tapi jika tidak suka, mereka akan cuek. Aku menyukai sikap semacam ini. Semua terlihat jelas. Menurutku, tak usahlah berpura-pura manis jika merasa ada yang tidak beres.

Selain itu, folklor mereka masih terbilang kental. Semisal, tidak memperbolehkan orang baru ke hutan atau ke makam karna katanya bisa ditampar hantu. Dan sebagai orang baru, tak ada pengecualian untukku. Di bulan-bulan awal, mama piaraku pernah melarangku ikut ke hutan atau ke makam. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya menahan rasa ingin tahu tentang kesehariaan penduduk di desa yang ku tempati? Jadi saat itu aku hanya ikut nimbrung bersama ibu-ibu mengupas ubi membuat natok (bahan dasar iluy) tanpa tahu sensasi menggendong Ubi dari gundukan bukit di seberang hulu sana, menggoreng ikan sopong tanpa tahu suasana memancingnya di sungai, melihat upacara ampit tanpa tahu proses penguburannya, atau memakan buah Lai (durian Kalimantan) tanpa tahu pohonnya seperti apa di tengah hutan. Betapa tidak akan menyenangkannya kehidupanku  setahun jika aku hanya berdiam diri di lingkungan desa saja. Tapi, bukan Asila namanya jika tidak bisa memenuhi rasa penasarannya untuk mencoba hal baru.

And here we go ! Aku mendapat kabar duka bahwa ada warga yang meninggal. Kabar ini berasal dari teman sepenugasanku yang lokasi desanya paling dekat dengank.  Kata paling yang kumaksud di atas yaitu antara desaku dan desanya terpisah oleh beberapa desa, dengan masing-masing desanya terpisah oleh sungai. Jadi untuk saling mengunjungi kami harus menggunakan perahu selama kurang lebih 45 menit. Tapi sesusah apapun rutenya, ditambah harus bergantung pada pasang-surut sungai dan ketersediaan perahu, menurutku ini adalah rute terdekat, dibanding perjalananku ke kabupaten yang memakan waktu 2 hari perjalanan.

 

kak Sila, wargaku ada yang meninggal. Aku deg-degan karna diminta jadi pemimpin doa di pemakaman nanti bah” kurang lebih itu isi pesan Fransiska yang akrab disapa Nona. Diantara kami berdelapan, cuma Nona yang beragama Katolik. Jika kami sedang kumpul berdelapan di kabupaten, Nona menempati posisi spesial di antara kami, tapi jika di desa, aku berada di posisi Nona. Tapi meski berbeda keyakinan, Nona adalah anak Bapa yang baik, suka mengingatkan kami untuk mendengar adzan di tengah rapat, membantu kami menyiapkan menu berbuka puasa, seperti kami yang biasa mengantar-jemputnya ke Gereja, memberi waktu untuknya melakukan doa rosario, dll. Karena penduduk desa Nona beragama Kristen-Katolik, maka jadilah gadis campuran Lembata-Makassar ini disulap jadi Asisten pak Matias, Pendeta yang bertugas di kecamatan Lumbis Ogong, salah duanya di desaku dan desa Nona ( Sukamaju). 

Mendapat SMS dari Nona, ku katakan bahwa aku ingin ke desanya, ikut membantunya. Aku penasaran seperti apa ritual pemakamannya. Dengan segera aku mengemas perlengkapan menginap termasuk sleeping bag untuk menyelamatkan tubuhku dari gigil dan gigitan agas saat tidur di rumah keluarga piara Nona nanti, lalu minta ijin ke mama piaraku (mama Nikutan) untuk mengunjungi Nona (tentunya tanpa omongan ikut ke pemakaman karna pasti tidak diperbolehkan), dan segera mencari tumpangan perahu. Kabar gembira! Pak Kepala Sekolahku yang tinggal di desa Sukamaju akan pulang. Bisa nebeng gratis! hehehe.


“Sebelum dimakamkan, akan diadakan pembacaan doa terakhir dulu kak Sil. Mau ikut kah dulu ke rumah yang meninggal?” Tawar Nona kepadaku. Aku mengangguk. Pembacaan doa terakhir di pimpin oleh Nona. Semua membuka alkitab masing-masing dengan posisi duduk menghadap peti berisi mayat seorang perempuan. Sedangkan aku duduk di dekat pintu belakang, memperhatikan situasi sambil berharap akan ada angin masuk, mengurangi hawa panas dari atap seng yang terasa menyengat ubun-ubun kami. Sebuah papan nama berbentuk salip bertuliskan Nama, riwayat lahir dan tanggal meninggal tergeletak di pojok kiri atas peti.

Pembacaan do’a selesai. Peti ditutup diiringi suara tangis semua orang yang berada di ruangan. Aku kaget karena suara tangis mereka begitu keras. Aku langsung teringat pengalaman masa kecilku, saat aku diberi uang 500 rupiah untuk diminta menangis bersama para pengunjung makam Cina di seberang rumahku, di Bintaro- Lombok. Kalau tidak salah, menurut mereka, semakin banyak dan semakin keras kita menangis, semakin sedikit dosa yang meninggal tadi. Mungkin kepercayaan mereka sama dengan penganut agama di desa ini.

Nona menyeka air matanya dan mengajakku keluar menuju warung. Sambil menunggu peti diangkat ke perahu besar/ Long Boat, aku dan Nona menyedot air Marimas tanpa es batu. Meski kami tahu minuman ini tidak akan mengurangi rasa terik yang menyengat kulit kami, setidaknya kerongkongan kami tidak kekeringan. Cara mensugesti diri agar bertahan dengan suhu 38oC adalah dengan membayangkan ada potongan es batu di minuman kami.

Peti digeletakkan di posisi belakang perahu, di depan motoris. Perahu didominasi oleh lelaki, selebihnya adalah aku, Nona, Ayrin (adik piara Nona), suster, dan anak remaja seusia anak SMP yang merupakan anak si Almarhum. Para lelaki mulai ambil posisi. Ada yang mendorong perahu menjauhi bibir sungai, lalu naik meloncat masuk ke perahu, ada yang siap-siap dengan alat tabuh, dan seorang motoris yang siap menyalakan mesin. Perahu mulai bergerak mengikuti arus sungai. Suara tabuhan gong di posisi depan berusaha mengalahkan suara mesin perahu. Bendera putih di ujung pangkal perahu berkibar. Bebunyian dan bendera itu sebagai penanda ada sebuah perahu yang membawa peti mati. Anggap saja mobil jenazah versi perairan. Perahu bergerak menuju sebuah bukit di seberang desa yang merupakan tempat pemakaman.

Sebenarnya, jarak menuju bukit pemakaman dekat. Kami bisa sampai sekitar lima menit, tapi di tengah perjalanan, perahu kami kandas. Mau tidak mau sebagian lelaki harus turun, selain untuk mengurangi beban, perahu harus didorong ke posisi sungai yang lebih dalam. Ayrin mengeluh kepanasan di atas perahu. Kulitnya yang putih khas kulit Dayak memerah. Aku yang sendirian menggunakan jilbab, satu-satunya muslim di perahu itu segera mengangkat sisi kanan-kiri jilbabku untuk menutupi kepala Ayrin dan Nona. Di belakang kami, seorang lelaki yang menutup kepalanya dengan karung minta ikut nimbrung tapi langsung kutolak karena rambutku akan terlihat. Dia mengerti. Kami semua tertawa. Lihat, Matahari tidak pilih kasih dalam bersinar, tak peduli apapun agamanya, warna kulitnya. Kami semua yang di atas perahu sama-sama manusia, sama-sama kepanasan. Tapi saling bantu meneduhkan. Because, we are respect with diversity. Jika orang-orang di atas perahu ini melihat agama, tentu mereka akan menentangku ikut membantu proses pemakaman.

Aku, Ayrin dan Nona berpayung dengan jilbab



Kembali ke cerita Kabur ke Makam Katolik, di musim kemarau begini, sungai pasti surut. Maka perjalanan ke bukit Pemakaman jadi lebih  berat. Mereka yang seharusnya memarkir perahu tepat di bawah bukit, hanya tinggal memikirkan cara menaiki peti ke atas bukit dengan posisi kemiringannya hampir 450, jadi harus memarkir perahu di tengah sungai kering, berjalan memanggul peti melewati jalan berbatu penuh kayu . Tapi kami semua menikmatinya.


pemandangan sungai yang surut 

pemandangan sungai surut dari atas bukit pemakaman


Kami pun tiba di atas bukit pemakaman. Ku perhatikan hampir di semua bagian atas makam berdiri miniatur rumah. Aku menuju lubang persegi panjang tempat peti mati itu akan dibenamkan, lalu mengambil posisi mengikuti yang lain : duduk berjongkok sambil menopang papan nama berbentuk salip yang tingginya setengah dari badanku, lalu menghadap sebuah lubang persegi panjang, di mana empat lelaki di masing-masing sudut mulai menenggelamkan peti ke dalamnya dan menguburnya dengan tanah. Aku menyerahkan papan salip yang kubantu bawa tadi untuk mereka tancap. Lalu semua mengambil posisi untuk persiapan doa pemakaman yang dipimpin oleh Nona. Terik matahari semakin terasa. Untuk mengurangi rasa sengatan, ada yang duduk berlindung di atap terpal, ada yang masuk ke dalam miniatur-minatur rumah di atas kuburan yang lain sehingga terlihat seperti ayam di dalam kandang. Saat pandanganku mengarah ke miniatur tadi, empat lelaki di dalamnya menyengir percaya diri melihatku duduk di luar mereka, ditemani Ayrin yang bersembunyi di balik jilbabku. Maklum, terik matahari lebih terasa jika kita berada di ketinggian.

Aku memperhatikan Nona. Mendengarnya mengucap bebacaan di Alkitab, melihatnya menyiram air perlahan di atas kubur , lalu melanjutkan membaca Alkitab tentang kematian. Nada suaranya tegang, bukan karna ini kali pertama ia  jadi pemimpin doa tapi karna memang nada bicaranya seperti itu.


Proses pemakaman selesai. Kami menuruni bukit dan berjalan menuju perahu. Terlihat semua lelaki berjalan setengah berlari lalu menceburkan diri ke sungai. Aku memaklumi mereka yang sedang memberikan apresiasi pada tubuh mereka yang sudah bersabar dipakai mengangkat peti dan bertahan menahan panas matahari di atas bukit demi proses pemakaman yang khitmat. Selega kulit ari mereka yang perih lalu akhirnya bertemu air, selega itu juga perasaanku yang pada akhirnya bisa memuaskan rasa ingin tahuku dan bisa ikut membantu. Jujur saja, iini pengalaman pertama aku melihat proses penguburan umat Katolik secara langsung. 

menuju perahu sambil menunggu para lelaki berhenti berenang.


perjalanan pulang menuju desa Binter
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, saat kabut masih bertengger di antara bebukitan, aku bersama keluarga kepala sekolahku berangkat ke Binter memakai Ketinting, perahu kecil yang kami pakai berangkat kemarin. 

Setelah perjalanan menembus kabut dan dingin, akhirnya kami sampai di dermaga. Di atas dermaga ku lihat anak-anak sudah nongkrong duduk di bangku gapura desa dengan seragam putih-merahnya. Sedangkan gurunya, sedang tergopoh menaiki tangga dermaga dengan lumpur di kakinya.

“pagi buk!” “pagi, nak”

“pagi buk!” “pagi, nak”

“pagi buk!” “iyaaa selamat pagi juga semuanyaaa

Bisa kalian bayangkan rasanya disapa satu-persatu dan harus dijawab satu persatu juga dalam kondisi nafas yang tidak stabil? Mereka cekikikan melihat aku yang ngos-ngosan.  Oh Tunggu!, ada satu anak yang tidak tertawa. Ia menunduk. Ku angkat dagunya dan keperhatikan ada bekas 3 jari di pipi kanannya. Saat ku tanya, “siapa yang menempelkan spidol di pipimu?" anak-anak yang lain langsung menjawab : “bekas ditampar hantu karna dia ikut mamanya ke Hutan bah itu, bu!".

 




#internationaldayfortolerance #indigenousstory

#16november2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ELTA PAKET KOMPLIT !

  trainer dan trainee ELTA IX Propinsi NTB English Language Training Assistance (ELTA) merupakan program bantuan pelatihan bahasa Inggris dari Australia Awards in Indonesia (AAI)  bagi masyarakat Propinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NTB serta disabilitas di seluruh Indonesia. Program ini ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki kriteria sebagai pelamar beasiswa S2 Australia Awards Schoolarsip  (AAS) atau beasiswa lainnya,  tapi memiliki skor IELTS di bawah 5.0 . ELTA sudah terlaksana selama 9 kali dan uniknya, semesta memberi kejutan untuk peserta ELTA Batch IX. Anggap saja kami angkatan spesial. Pasalnya, kami menjadi peserta ELTA Online pertama karena kondisi pandemi. Tak hanya berdampak ke sistem pelatihan yang beralih ke daring, jadwal kegiatan yang seharusnya dimulai di tahun 2020 pun sempat tertunda, but finally! Setelah menunggu +  6 bulan, pelatihan berdurasi 3 bulan tersebut akhirnya dimulai di pertengahan  Januari sampai April 2021. Lalu seperti apa ta

Penggerak Pangan Lokal: Nur Rahmi Yanti

foto pribadi Siapa di antara kamu yang masih asing dengan nama sorgum? Jika kamu baru mengenal nama itu saat membaca tulisan ini, tak masalah. Lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali. Saya pribadi yang tinggal di kota juga baru mengenal sorgum di tahun 2019 saat berkunjung ke salah satu rumah guru di desa Bentek, Kabupaten Lombok Utara. Jika orang jawa mengenal sorgum dengan nama jagung cantel, warga Nusa Tenggara Barat akrab menyebutnya buleleng.  "Mau urap buleleng?" tawar seorang guru saat itu sambil menyodorkan piring berisi menu tadi. Saya mengernyitkan dahi mendengar satu nama asing di telinga saya: Buleleng. Melihat piring berisi biji-bijian berwarna merah dengan daging putihnya yang mekar direbus, bercampur dengan parutan kelapa dan toping gula merah di atasnya, saya menerima dan mencicipi urap manis itu. " Kalo bahasa Indonesianya Sorgum", tambah guru tadi. Tangan saya langsung membuka gawai dan mencari tahu apa itu sorgum di internet. Akhirny

Solusi Healing ketika Pening

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah seorang budayawan Lombok. Beliau sudah sepuh. Saat saya tanya kelahiran berapa, beliau menjawab bahwa  saat perang Pujut pertama di Lombok dan masa orde lama, usianya sudah belia. Singkatnya, beliau lahir tahun 1958. Tentu saja saya yang lahir di masa reformasi membuat perbedaan usia kami terbilang kontras. Kami lalu bercerita dan saling bertukar pandangan tentang lebih enak hidup di zaman dulu atau sekarang. Hingga sampai pada satu kesimpulan awal: semua zaman ada enak dan tidak enaknya.  Kata beliau, zamannya terasa menyenangkan saat bisa bersahabat dengan bulan. Bulan menjadi penunjuk jalan dan menjadi teman sepanjang perjalanannya saat listrik belum ada dan kendaraan masih langka. Namun di zaman beliau, Ia mengaku kesulitan dalam hal komunikasi dan perolehan informasi.  "Orang zaman dulu masih mengandalkan surat pos nak, berbeda dengan sekarang. Semua serba instan dan cepat. Secepat menjentikkan jari," pengakuannya kepada saya.