Langsung ke konten utama

Ma’rifat Rasa



“kau tahu kak, di sepanjang jalan tadi nah, macam kupikir gas motornya rusak, susahnya melaju kencang ! Eh lama-kelamaan aku sadar, bukan gasnya yang bermasalah tapi penumpangnya yang terlalu berat. Aiigh... pegalnya tanganku itu dua kali pegalnya kakak memutari Alun-Alun Nunukan dekat tugu Dwikora bah!” Fatia tertawa. Maliki yang mengetahui maksud cerita Fatia untuk mengejek berat badannya, membiarkan lawannya kali ini tertawa bahagia.

“Saya buatkan kakak kopi dulu ya” Fatia yang sudah puas menertawai, berjalan ke arah dapur. Sambil melangkah ia menggosok rambut basahnya dengan handuk, lalu menggantungnya di pundak kanan.

Mereka baru saja pulang dari rumah seorang Ibu janda beranak 1. Fatia menyebut si Ibu sebagai “ML”. Bukan “ML” kepanjangan dari Mitra Langsung atau boundary partners-nya selama bertugas, tapi lebih dari itu. Bagi Fatia, Ibu Nur adalah Malaikat Langsung-nya.

Setelah berpamitan. Di tengah jalan, tepatnya  di simpang tiga, depan Tugu yang menjuntai sekitar 7 meter ke atas dengan patung sepasang orang tua dan anak perempuan kecil membawa neraca di ujungnya, Fatia mendongak. Bukan mendongak ke ujung tugu, tapi kepada langit yang menghitam. Fatia menepuk lengan kanan Maliki, minta giliran jadi depan. “sebentar lagi hujan. Kita harus cepat sampai rumah” Fatia menjelaskan alasannya. Maliki yang tak peduli dengan pandangan—lelaki yang dibonceng perempuan adalah banci—turun dari motor dan pindah posisi ke belakang.  

3..2...1.. Lampu merah berubah jadi hijau. Fatia menancap gas, menaikkan kecepatan motor bu Nur ke angka 80km/jam. Tapi meski melaju kencang, Fatia kalah telak dengan alam. Mereka diguyur hujan sepanjang 100 meter dari Mess. Fatia kesal karna pulang kehujanan.

“Ctek!” suara kompor dinyalakan. Api melingkari tungku besi dengan tatakan di atasnya berbentuk 4 caping melengkung ke dalam. Pantat Ceret pun bertengger, siap dididihkan.

Fatia menoleh ke arah jendela. Hujan berdesir deras terbawa angin, kali ini giliran Fatia yang merasa diejek oleh suara hujan di luar sana. Fatia tak suka dengan hujan yang berlama-lama. Tapi tetap, ia harus berterimakasih kepada hujan yang memunculkan aroma Petrikor yang disukainya.

“Kenapa tak jujur dari dulu saja?” Maliki membuka obrolan serius.  Ia menghampiri gadis yang meramu kopi di depannya. Posisi Maliki berjarak satu meter di belakang Fatia. Yang membelakangi menoleh sebentar tak mengerti, kemudian melanjutkan ritualnya membuat kopi.

“Kakak tahu perasaanmu” sambung Maliki.

Kini Fatia berdiri mematung. Ia paham arah pembicaraannya ke mana. Fatia menelan ludah. Mengendalikan dirinya. Pura-pura memasang ekspresi tak mengerti lagi. Ia mencoba tertawa, berekspresi seperti saat ia mengejek Maliki beberapa menit lalu, tapi tawanya kali ini terdengar menggantung.

Maliki membalik badan Fatia dan mendekapnya erat. Terasa hangat. Fatia yang sempat hanyut dalam pelukannya, tersadar lalu berusaha melepas dekapan lelaki bertubuh gempal yang mengunci pinggangnya.

“Dengarkan” perintah Maliki.

Tubuh Fatia terlalu kecil, tak sepadan dengan lawannya, tapi tetap berusaha keluar dari lingkaran tangan Maliki. Matanya berkedip berkali-kali, jemarinya meremas punggung Maliki.

“Dengarkan” perintah Maliki lagi.

Fatia menghela nafas. Tanda menyerah. Mengikuti perintah. Ia mulai menggeser posisi telinganya ke dada kiri Maliki lalu menutup mata. Bisa ia dengar gumpalan daging sebesar kepalan tangan pemiliknya berdegup keras.

“Bagaimana?” tanya Maliki dengan posisi tetap memeluk Fatia.

“Lebih kencang dibanding detak jatungku” jawab Fatia.

“Kau tahu artinya kan?” Maliki merenggangkan pelukannya. Tangan kanannya kini mengelus kepala Fatia. “lebih besar usaha kakak menahan perasaan ini dibanding usahamu, tapi kakak lebih pandai menyembunyikannya darimu.” Sambung Maliki.

Maliki mengakui perasaannya dan meledeki tingkah Fatia yang masih saja berpura-pura tak mengakui perasaannya.

Tak ada yang salah dari mencintai. Yang salah adalah jika hanya salah satu yang merasakan, lalu buru-buru mengatakannya, yang menjadikan keadaan tak bisa kembali seperti sebelumnya—hubungan merenggang. Fatia mengkhawatirkan dua kata terakhir. Oleh karena itu ia coba tahan perasaannya. Tapi Fatia terlalu sibuk mengendalikan sikapnya untuk biasa-biasa saja, sampai tak menyadari sikap Maliki yang ternyata tak biasa.


Air harapan mendidih,


Sesendok Cinta dan dua sendok sayang terseduh,


Mengepulkan aroma hangat,

pada secangkir tarekat.


Selamat menyeruput Hakikat Cinta,


Menikmati makrifat rasa.



_____________________

cacatan : Cerpen ini dibuat setelah terinspirasi oleh lagu Surrender--Natalie Taylor.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ELTA PAKET KOMPLIT !

  trainer dan trainee ELTA IX Propinsi NTB English Language Training Assistance (ELTA) merupakan program bantuan pelatihan bahasa Inggris dari Australia Awards in Indonesia (AAI)  bagi masyarakat Propinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan NTB serta disabilitas di seluruh Indonesia. Program ini ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki kriteria sebagai pelamar beasiswa S2 Australia Awards Schoolarsip  (AAS) atau beasiswa lainnya,  tapi memiliki skor IELTS di bawah 5.0 . ELTA sudah terlaksana selama 9 kali dan uniknya, semesta memberi kejutan untuk peserta ELTA Batch IX. Anggap saja kami angkatan spesial. Pasalnya, kami menjadi peserta ELTA Online pertama karena kondisi pandemi. Tak hanya berdampak ke sistem pelatihan yang beralih ke daring, jadwal kegiatan yang seharusnya dimulai di tahun 2020 pun sempat tertunda, but finally! Setelah menunggu +  6 bulan, pelatihan berdurasi 3 bulan tersebut akhirnya dimulai di pertengahan  Januari sampai April 2021. Lalu seperti apa ta

Penggerak Pangan Lokal: Nur Rahmi Yanti

foto pribadi Siapa di antara kamu yang masih asing dengan nama sorgum? Jika kamu baru mengenal nama itu saat membaca tulisan ini, tak masalah. Lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali. Saya pribadi yang tinggal di kota juga baru mengenal sorgum di tahun 2019 saat berkunjung ke salah satu rumah guru di desa Bentek, Kabupaten Lombok Utara. Jika orang jawa mengenal sorgum dengan nama jagung cantel, warga Nusa Tenggara Barat akrab menyebutnya buleleng.  "Mau urap buleleng?" tawar seorang guru saat itu sambil menyodorkan piring berisi menu tadi. Saya mengernyitkan dahi mendengar satu nama asing di telinga saya: Buleleng. Melihat piring berisi biji-bijian berwarna merah dengan daging putihnya yang mekar direbus, bercampur dengan parutan kelapa dan toping gula merah di atasnya, saya menerima dan mencicipi urap manis itu. " Kalo bahasa Indonesianya Sorgum", tambah guru tadi. Tangan saya langsung membuka gawai dan mencari tahu apa itu sorgum di internet. Akhirny

Solusi Healing ketika Pening

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah seorang budayawan Lombok. Beliau sudah sepuh. Saat saya tanya kelahiran berapa, beliau menjawab bahwa  saat perang Pujut pertama di Lombok dan masa orde lama, usianya sudah belia. Singkatnya, beliau lahir tahun 1958. Tentu saja saya yang lahir di masa reformasi membuat perbedaan usia kami terbilang kontras. Kami lalu bercerita dan saling bertukar pandangan tentang lebih enak hidup di zaman dulu atau sekarang. Hingga sampai pada satu kesimpulan awal: semua zaman ada enak dan tidak enaknya.  Kata beliau, zamannya terasa menyenangkan saat bisa bersahabat dengan bulan. Bulan menjadi penunjuk jalan dan menjadi teman sepanjang perjalanannya saat listrik belum ada dan kendaraan masih langka. Namun di zaman beliau, Ia mengaku kesulitan dalam hal komunikasi dan perolehan informasi.  "Orang zaman dulu masih mengandalkan surat pos nak, berbeda dengan sekarang. Semua serba instan dan cepat. Secepat menjentikkan jari," pengakuannya kepada saya.